Hak Masyarakat Adat Diabaikan, Evaluasi Izin Konsesi PT Inhutani V di Kawasan Hutan Lampung Mendesak -->
Memuat artikel terbaru...

Iklan Semua Halaman


Hak Masyarakat Adat Diabaikan, Evaluasi Izin Konsesi PT Inhutani V di Kawasan Hutan Lampung Mendesak

Admin
Sunday, 4 May 2025


Way Kanan, DetikRepublik.ComProgram Reforma Agraria yang seharusnya menjadi solusi pemerataan akses tanah dan keadilan agraria di Indonesia, dinilai belum menyentuh akar persoalan di wilayah-wilayah adat, khususnya di Provinsi Lampung. Salah satu bukti nyata kegagalan itu terlihat dari kasus Masyarakat Adat Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir (MBPPI) di Negara Batin, Way Kanan.

Mereka menyatakan hak historis atas wilayah adat yang telah mereka serahkan sejak tahun 1940 untuk dijadikan hutan larangan kini tergerus. Wilayah tersebut saat ini justru beralih fungsi menjadi kawasan produksi di bawah pengelolaan industri kehutanan, tanpa keterlibatan ataupun manfaat yang nyata bagi masyarakat adat pemilik asal tanah tersebut.

Tokoh adat sekaligus penasihat hukum MBPPI, Gindha Ansori Wayka, mengungkapkan bahwa perubahan fungsi tanah adat menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah berlangsung sejak diberikannya hak konsesi kepada PT Inhutani V berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 398/Kpts-II/1996. Dalam keputusan tersebut, PT Inhutani V diberi izin mengelola kawasan hutan seluas ±55.157 hektar yang mencakup Register 44 Sungai Muara Dua dan Register 46 Way Hanakau.

Namun, menurut Gindha, sejak pengelolaan itu dimulai pada tahun 1996 hingga kini, masyarakat adat MBPPI tidak pernah menerima dampak positif ataupun dilibatkan dalam proses pengelolaan. “Padahal, sejak awal wilayah ini adalah tanah ulayat yang diserahkan oleh para leluhur kami kepada pemerintah kolonial untuk dijaga sebagai hutan lindung, bukan untuk dieksploitasi industri,” ujarnya di Bandar Lampung, Minggu (4/5/2025).

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa komunitas MBPPI tidak pernah bermukim di kawasan Register 44 dan 46. Sebaliknya, kawasan tersebut saat ini banyak ditempati oleh pihak-pihak luar yang masuk sebagai perambah. Hal ini mengaburkan status kemitraan yang disebut dalam Surat Menteri Kehutanan Nomor 427/Menhut-VIII/2001 yang ditujukan kepada Gubernur Lampung, dimana pemerintah memerintahkan agar dilakukan pendekatan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat adat pemilik tanah ulayat.

“Sayangnya, tidak pernah ada tindak lanjut dari surat itu. Tidak ada model kemitraan yang melibatkan kami sebagai pemilik hak sejarah atas tanah tersebut. Yang diajak bermitra justru warga luar yang tinggal di kawasan register, bukan masyarakat adat MBPPI,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan dugaan kerugian negara akibat lemahnya pengelolaan oleh PT Inhutani V. Menurut data yang dihimpun, kompensasi yang diterima oleh perusahaan dari para pemegang izin sub-konsesi atau penggarap hanya berkisar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per hektar per tahun—angka yang dinilai tidak sebanding dengan potensi ekonomi kawasan yang sangat luas.


“Bayangkan, izin yang mereka pegang mencakup puluhan ribu hektar, tetapi pendapatan yang masuk ke negara begitu kecil. Apalagi sebagian wilayah juga sudah ditempati perambah secara ilegal. Ini jelas merugikan negara,” ujarnya.

Karena itu, Gindha mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mempertimbangkan pencabutan izin konsesi PT Inhutani V. Ia menyebut pengelolaan yang tidak transparan dan tidak inklusif sebagai bentuk pengabaian terhadap keadilan ekologis dan sosial.

Menanggapi kebijakan terbaru pemerintah pusat, yakni Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, Gindha melihatnya sebagai langkah positif namun belum berpihak kepada masyarakat adat. Perpres tersebut lebih menekankan pada penertiban dan pengembalian fungsi kawasan hutan, namun belum memberikan ruang yang jelas bagi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat sebagai pihak yang sejak awal menjaga dan menyerahkan tanahnya untuk konservasi.

“Perpres ini bisa menjadi instrumen hukum untuk menertibkan penguasaan ilegal, tapi harus dilengkapi dengan pendekatan partisipatif. Pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat adat sebagai mitra strategis dalam penataan kawasan hutan. Mereka bukan hanya pewaris sah tanah itu, tapi juga penjaga hutan sejak dahulu kala,” tegasnya.


Redaksi/*