
Bali | Detik Republik. Id
21/6/2025 Di tengah semilir angin pagi yang membawa aroma dupa dan suara gemerincing gamelan dari pura, ada satu tradisi tua yang terus hidup di tengah masyarakat Bali: tajen, atau sabung ayam. Ia bukan hanya pertarungan antara dua jago tangguh, tetapi juga bagian dari ritual sakral dalam upacara keagamaan Hindu Bali. Namun kini, tajen terbelah dua wajah: di satu sisi adalah warisan budaya, dan di sisi lain adalah praktik yang sering dikaitkan dengan perjudian ilegal dan tindak kriminal.
Tajen dalam Tradisi Hindu Bali
Menurut Lontar Roga Sanghara Bhumi, sebuah naskah kuno dalam ajaran Hindu Bali, tajen merupakan bagian dari upacara tabuh rah—sebuah persembahan simbolik darah hewan sebagai bentuk pengorbanan dalam upacara penyucian (Bhuta Yadnya). Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kekuatan alam, menetralisir energi negatif, dan memohon keselamatan.
Dalam konteks ini, tajen bukan sekadar hiburan atau taruhan. Ia menyatu dengan filosofi Tri Hita Karana tiga penyebab kebahagiaan hidup, harmoni antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam. Tajen dalam upacara agama dilakukan secara terbatas, di pura atau lokasi sakral, dengan pengawasan ketat dari tokoh adat dan pemangku.
Namun pergeseran zaman memunculkan versi lain dari tajen—yang terlepas dari akar spiritualnya dan menjelma sebagai arena perjudian terbuka. Inilah yang menimbulkan polemik.
Tajen, Tradisi yang Disalahgunakan?
Dalam beberapa dekade terakhir, tajen tak lagi eksklusif dilakukan saat upacara keagamaan. Banyak arena tajen dibuka secara berkala bahkan harian, dengan penonton membludak, uang taruhan mengalir deras, dan tak jarang diwarnai keributan antar-pendukung. Praktik semacam ini kerap menyalahi aturan adat dan terindikasi kuat sebagai bentuk perjudian terselubung.
Hasil investigasi lapangan di beberapa kabupaten seperti Gianyar, Klungkung, dan Tabanan, menunjukkan bahwa praktik tajen liar ini tidak mendapat restu adat. Bahkan, beberapa kasus mengarah pada konflik horizontal, praktik premanisme, peredaran narkoba, hingga kekerasan fisik.

Padahal, Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian menyebutkan bahwa seluruh bentuk perjudian dilarang di wilayah NKRI. Dengan demikian, tajen di luar konteks adat menjadi ilegal, meskipun memiliki label "budaya".
Dilema, Dilarang atau Dilegalkan?
Di sinilah muncul dilema besar. Masyarakat adat Bali ingin melestarikan budaya, namun negara tak bisa menoleransi praktik yang melanggar hukum. Lantas, mungkinkah tajen dilegalkan dan diregulasi secara resmi?
Jawabannya bisa, Ya, tapi dengan syarat sangat ketat.
1. Jika pemerintah berani mengatur tajen secara transparan sebagai bagian dari pelestarian budaya, dengan kontrol ketat seperti:
2. Hanya dilakukan dalam konteks upacara adat
3. Mendapat izin resmi dari desa adat dan kepolisian
4. Tidak menggunakan taruhan uang, atau menggunakan sistem sumbangan sukarela untuk kegiatan sosial adat
5. Hasil kegiatan digunakan untuk pelestarian budaya dan pembangunan desa maka tajen bisa menjadi potensi kontribusi ekonomi dan budaya.
Potensi Kontribusi terhadap Negara dan Daerah
Jika dilegalkan dan diatur, tajen bisa menjadi bagian dari ekowisata budaya Bali, seperti,
1 Atraksi Budaya Terkurasi: Tajen sebagai tontonan budaya ritual (seperti tari kecak), bukan perjudian.
2. Pajak dan Retribusi Resmi, Arena tajen terdaftar bisa dikenakan retribusi budaya oleh desa adat dan pajak usaha ke daerah.
3. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Peternak ayam aduan, pengrajin sangkar, dan pelatih ayam bisa diorganisir dalam koperasi budaya.
4. Dana Sosial Adat, Bagian dari hasil kegiatan bisa disalurkan untuk dana adat, pendidikan, dan pelestarian pura.
Menurut data dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, sekitar 60% kegiatan kebudayaan tradisional di desa-desa adat melibatkan unsur tajen dalam rangkaian ritual. Namun karena belum diregulasi secara ekonomi, potensi ini tak tergarap maksimal dan malah menjadi “liar” di lapangan.
Suara dari Tokoh Adat, I Wayan Puger, salah satu pemangku adat di Karangasem, menyatakan, “Tajen itu sakral. Tapi kalau orang sudah hilang niat suci dan cuma mau judi, itu bukan tajen lagi. Pemerintah harus bisa bedakan mana adat dan mana keserakahan.”
Pendapat ini menggarisbawahi urgensi pemisahan antara tajen adat dan tajen liar.
Tradisi Harus Disucikan, Bukan Disalahgunakan.
Pelestarian budaya tak boleh dijadikan dalih untuk membiarkan pelanggaran hukum. Namun pelarangan membabi buta tanpa pemahaman konteks adat juga berisiko menghilangkan jati diri bangsa.
Masyarakat adat, pemerintah daerah, dan pusat perlu duduk bersama menyusun peta jalan pelestarian tajen yang bermartabat, religius, dan jauh dari unsur perjudian komersial.Sebab menjaga budaya bukan sekadar melestarikan bentuknyabtetapi juga menyucikan niat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Sumber :Aktifis Lilik