Kapuas Hulu,DETIKREPUBLIK.COM - Kalimantan Barat – 17 Mei 2025 Di tengah riak tenang Sungai Kapuas yang membelah rimba Kalimantan, suara mesin dompeng menderu seperti detak jantung gelap negeri ini—tak terlihat, tapi terasa. Di Desa Nanga Seberuang, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu, aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) bukan hanya berlangsung, tetapi tumbuh subur seperti akar yang menyusup ke dasar sungai dan sistem birokrasi.
Investigasi lapangan yang dilakukan pada 10 Mei 2025 mengungkap aktivitas tambang yang beroperasi secara terang-terangan, seolah hukum telah diganti dengan diam dan pembiaran. Ironisnya, Polsek Semitau pada 13 Mei 2025 justru menyebut bahwa peralatan yang ditemukan hanyalah “peninggalan lama” yang sudah tidak aktif. Klaim ini tidak hanya mengundang tanya, tapi juga menyulut kemarahan publik yang telah lama mencium aroma busuk di balik lumpur sungai.
Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Mesin masih hidup. Solar masih mengalir. Emas masih dipanen. Sejumlah warga menyebut nama-nama yang selama ini hanya dibisikkan dalam gelisah: S, penjabat kepala desa yang diduga menjadi koordinator operasional tambang; G, pengepul emas dan pemasok solar subsidi; S (lainnya), yang berperan sebagai pemungut dana keamanan dari para pekerja tambang; serta A, oknum polisi yang disebut sebagai penjaga tak resmi wilayah tambang.
“Selama ada setoran keamanan, tambang silakan jalan terus,” ujar seorang narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keselamatan. Kalimat itu seperti mantra gelap yang menjaga mesin tambang tetap berdengung, dan hukum tetap terbungkam. Sosok A bahkan disebut dikenal luas oleh para penambang sebagai figur kunci dalam sistem perlindungan ilegal ini.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan pelanggaran hukum, tapi juga kemungkinan adanya skema perlindungan sistematis terhadap kegiatan ilegal. Di balik pembelaan formal aparat, terselip dugaan konflik kepentingan dan kolusi yang menjadikan wilayah Kapuas Hulu sebagai lahan abu-abu antara kewajiban dan keuntungan pribadi.
Masyarakat merasa ditinggalkan. Ketika aparat seharusnya menjadi pagar, kini justru diduga menjadi pintu masuk bagi kerusakan. Sungai Kapuas, yang selama ini menjadi nadi kehidupan, perlahan berubah menjadi saksi bisu persekongkolan antara tambang, kekuasaan, dan keheningan.
Kami menyerukan kepada Presiden Republik Indonesia, Kapolri, dan lembaga pengawas independen untuk segera turun tangan. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif—ini adalah krisis kepercayaan terhadap institusi hukum. Kejahatan yang dibiarkan adalah bentuk kekerasan terhadap rakyat dan lingkungan.
Jika emas terus bicara lebih keras dari kebenaran, maka sebentar lagi yang tenggelam bukan hanya hukum atau hutan—tetapi seluruh martabat bangsa ini. Maka, diam bukan lagi pilihan.
Penulis : Rahmad Maulana