Di sudut timur Singkawang , DETIKREPUBLIK.COM - tepatnya di SPBU bernomor 63.791.01, jeriken-jeriken bicara. Mereka tak bersuara, tapi rekaman yang beredar pada Sabtu (26/04), pukul 15.30 WIB, sudah cukup lantang: solar dan pertalite bersubsidi dituang bebas ke dalam wadah plastik—seolah regulasi hanyalah aksesoris hukum yang bisa dipilih sesuai selera.
Tak ada selimut malam, tak ada usaha sembunyi. Praktik ini dilakukan siang bolong. Terang, terbuka, tanpa rasa malu. Seolah hukum sedang cuti. Seolah pengawasan hanya mitos yang diceritakan di ruang-ruang konferensi pers.
Aturan pemerintah jelas: subsidi diperuntukkan bagi kendaraan bermotor—bukan jeriken, bukan spekulan. Tapi di SPBU Bagak Sahwa, yang terjadi justru sebaliknya: subsidi mengalir ke tempat yang salah, ke tangan-tangan yang lebih lihai bermain sistem daripada bekerja jujur.
Singkawang kini berdiri di persimpangan antara keberanian menindak atau terus menjadi panggung bagi mafia BBM. Publik marah, dan mereka punya alasan. Ketika jeriken lebih mudah diisi daripada tangki rakyat kecil, siapa sebenarnya yang sedang dilayani.
Pemerintah Kota, Wali Kota, dan Hiswana Migas—ini saatnya membuktikan siapa yang benar-benar berpihak. Diam adalah bentuk pengkhianatan baru. Klarifikasi kosong hanyalah perban di atas luka bernanah.
Kita tak sedang bicara soal solar atau pertalite. Kita sedang bicara tentang nasib subsidi, tentang siapa yang boleh hidup layak, dan siapa yang harus terus antre dalam ketidakadilan.
Dan satu hal pasti: jika jeriken terus menang, Singkawang akan dikenang bukan karena keindahannya, tapi karena menjadi ibu kota mafia BBM dalam diam.
Sumber : LIDIK KRIMSUS RI
Penulis : Rahmad Maulana