SINTANG,DETIKREPUBLIK.COM – Dulu, Kapuas bernyanyi. Ia mengalir seperti puisi yang tak pernah lelah membasuh rindu tanah dan jiwa manusia. Tapi kini, ia meraung pelan—seperti ibu tua yang dipaksa menyaksikan tubuhnya dicabik logam dan oli, hari demi hari, oleh anak-anak yang haus emas.
Rakit-rakit tambang berdansa di permukaannya. Bukan tari kehidupan, tapi tarian maut. Mereka bukan sekadar papan dan mesin; mereka adalah altar kekuasaan tempat sungai ini dikorbankan dalam ritual kerakusan. Suara mesin Fuso dan Nissan menjelma menjadi litani kematian, berkumandang dari pagi hingga malam, tanpa jeda, tanpa malu.
Kapuas kini adalah tubuh luka yang dijarah berjemaah. Di atasnya, berdiri kekuasaan yang bungkam. Negara hadir, tapi hanya sebagai bayangan—ada tapi tak menyentuh. Penonton yang lupa bahwa mereka dulu janji melindungi.
PETI di Sintang tak lagi pantas disebut ilegal. Ia lebih cocok disebut kerajaan bawah tanah. Tertata. Terstruktur. Terlindungi. Seperti virus yang menjalar ke dalam nadi birokrasi. Siapa yang tak tahu, pura-pura. Siapa yang bisa bertindak, malah menyibukkan diri dengan seminar dan seremoni.
Pasal-pasal hukum? Hanya jadi mantra di seminar hukum lingkungan. UU Minerba dan UU Lingkungan Hidup tinggal koleksi huruf. Mereka tak berkutik di hadapan jas dan lencana yang punya koneksi ke pusat uang dan kuasa. Hukum hanya tajam ke bawah, dan membusuk ke atas.
Dr. Herman Hofi Munawar menyebutnya gamblang: ini bukan sekadar pelanggaran, ini pembunuhan berencana terhadap generasi yang belum lahir. Tapi bahkan vonis keras tak mampu menembus tameng tambang yang dijaga oleh para beking dan makelar hukum.
Lebih menyakitkan dari kerusakan itu sendiri adalah sikap diam—atau pura-pura sibuk—dari mereka yang kita gaji untuk menjaga. Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum lebih mahir mengurus citra ketimbang bencana. Padahal, Kapuas bukan hanya urusan air. Ia urusan hidup. Ia urusan moral.
Wacana Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) pun hanya akan jadi dongeng pengantar tidur jika para pembuat kebijakan tetap menjadi bagian dari mesin perusak.
Kapuas tidak butuh retorika. Ia menunggu keberanian. Keberanian untuk mengatakan tidak pada mafia. Keberanian untuk menolak suap yang dibungkus silaturahmi. Keberanian untuk tidak ikut dalam rakit yang sedang karam.
Dan pertanyaannya kini tak bisa ditunda lagi: apakah yang duduk di kursi kuasa punya nyali untuk berdiri bagi sungai? Atau mereka akan terus duduk manis—sambil melihat Kapuas mati perlahan.
Sumber : F
editor : Rahmad Maulana