Yaba, Detik Republik – Polemik pengelolaan dana desa di Desa Yaba, Kecamatan Bacan Barat Utara, kembali mencuat setelah warga mempertanyakan perbedaan mencolok dalam rincian anggaran pemasangan meteran listrik (KWH) tahun 2024. Dalam musyawarah desa (Musdes), terungkap bahwa anggaran sebesar Rp 360 juta untuk pengadaan KWH tidak sesuai dengan perhitungan riil di lapangan, menimbulkan dugaan adanya penyimpangan dana hingga Rp 148,5 juta.
Berdasarkan rincian yang disampaikan dalam Musdes, biaya pemasangan satu unit KWH sebesar Rp 3 juta untuk 90 rumah menghasilkan total Rp 270 juta. Ditambah pajak 10%, yakni Rp 27 juta, total keseluruhan menjadi Rp 297 juta. Namun, anggaran yang dicantumkan sebesar Rp 360 juta, sehingga terdapat selisih Rp 63 juta.
Ketika dikonfirmasi, seorang teknisi PLN lepas di Labuha mengungkapkan fakta berbeda. Menurut teknisi, biaya pemasangan KWH hanya Rp 1,3 juta per unit, ditambah dengan dua lampu dan satu colokan seharga Rp 1,5 juta per rumah. Jika dikalikan 90 rumah, totalnya menjadi Rp 135 juta, ditambah pajak Rp 13,5 juta, sehingga keseluruhan hanya Rp 148,5 juta. Selisih Rp 148,5 juta dari anggaran Rp 297 juta kini menjadi tanda tanya besar di masyarakat.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Yaba, Lalesckha Christiana Nita, menyatakan pihaknya tidak pernah menerima laporan keuangan dari pemerintah desa meskipun telah berulang kali memintanya.
“Pemasangan meteran listrik ini juga tidak memiliki laporan pertanggungjawaban yang jelas. Kami di BPD merasa diabaikan,” ujar Lalesckha kepada wartawan.
Penjabat (Pj) Kepala Desa Yaba, Nurjana Lameko, memberikan penjelasan yang justru semakin menimbulkan kebingungan. Dalam klarifikasinya melalui WhatsApp, ia menyebut bahwa Ketua BPD tidak memahami prosedur anggaran desa.
“Saya tara transparan? Sedangkan saya punya baliho APBDes so terpampang. BPD itu belum paham, silakan kawal saya punya APBDes,” tulisnya.
Namun, pernyataan ini dianggap tidak memadai oleh masyarakat, mengingat tidak ada laporan rinci terkait alokasi dana yang dapat diakses publik.
Masyarakat mendesak aparat penegak hukum dan pihak terkait untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan ini. Selisih Rp 148,5 juta dalam anggaran dianggap terlalu besar untuk diabaikan, terlebih dengan adanya fakta yang menunjukkan biaya pemasangan KWH seharusnya jauh lebih rendah.
“Uang negara itu harus jelas ke mana perginya. Jangan sampai masyarakat jadi korban permainan anggaran,” ujar salah seorang warga.
Kasus ini menjadi cerminan perlunya transparansi dan pengawasan ketat dalam pengelolaan dana desa, agar anggaran yang sejatinya diperuntukkan untuk kepentingan rakyat tidak disalahgunakan.
Redaksi